Tionghoa-Indonesia
adalah salah satu etnis di Indonesia yang asal usul leluhur mereka berasal dari
Tiongkok (China). Biasanya mereka menyebut
dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang
(Tiochiu),
atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin
mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang") atau lazim
disebut Huaren (Hanzi Tradisional: 華人 ;
Hanzi
Sederhana : 华人) .
Disebut Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan bahwa orang
Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok selatan yang menyebut diri
mereka sebagai orang Tang, sementara orang Tiongkok utara menyebut diri mereka
sebagai orang Han
(Hanzi: 漢人, Hanyu Pinyin: Hanren, "orang Han").
Leluhur orang
Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu
melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah
Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk.
Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara
telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok.
Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang
maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia
merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai
salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Populasi
di Indonesia
Berdasarkan Volkstelling
(sensus) pada
masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%)
dari penduduk Indonesia pada tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah
populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka.
Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah
memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000
(2,5%) pada tahun 1961.
Dalam sensus
penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus
ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi
Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai
jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5%
dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
Kerusuhan
Rasial terhadap Warga Tionghoa di Indonesia
Kerusuhan-kerusuhan
yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948,
peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari
1974 di Jakarta, Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta,
Medan, Bandung, Solo ,dll. serta berbagai kerusuhan rasial lainnya.
Beberapa
contoh kerusuhan rasial yang terjadi yaitu :
- Bandung, 10 Mei 1963. Kerusuhan anti suku peranakan Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus Institut Teknologi Bandung antara mahasiswa pribumi dan non-pribumi. Keributan berubah menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke kota-kota lain seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.
- Desember, tahun 1966. Sekolah- sekolah Tionghoa di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
- Jakarta, tahun 1967. Koran- koran berbahasa Tionghoa ditutup oleh pemerintah.
April,
gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti-Tionghoa
di Jakarta.
- Pekalongan, 31 Desember 1972. Terjadi keributan antara orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa. Awalnya, perkelahian yang berujung terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan terjadi saat acara pemakaman.
- Palu, 27 Juni 1973. Sekelompok pemuda menghancurkan toko Tionghoa. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas yang bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus dagangan.
- Bandung, 5 Agustus 1973. Dimulai dari serempetan sebuah gerobak dengan mobil yang berbuntut perkelahian. Kebetulan penumpang mobil orang-orang Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana.
- Jakarta, tahun 1978. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Tionghoa di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
- Ujungpandang, April 1980. Suharti, seorang pembantu rumah-tangga meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus: Ia mati karena dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Kerusuhan rasial meledak. Ratusan rumah dan toko milik suku peranakan Tionghoa dirusak.
- Medan, 12 April 1980. Sekelompok mahasiswa USU bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti suku peranakan Tionghoa. Kerusuhan itu bermula dari perkelahian.
- Solo, 20 November 1980. Kerusuhan melanda kota Solo dan merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Bermula dari perkelahian pelajar Sekolah Guru Olahraga, antara Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang pemuda suku peranakan TiongHoa. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan dan pembakaran toko-toko milik orang-orang TiongHoa.
- Surabaya, September 1986. Pembantu rumah tangga dianiaya oleh majikannya suku peranakan TiongHoa. Kejadian itu memancing kemarahan masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik orang-orang TiongHoa.
- Pekalongan, 24 November 1995. Yoe Sing Yung, pedagang kelontong, menyobek kitab suci Alquran. Akibat ulah penderita gangguan jiwa itu, masyarakat marah dan menghancurkan toko-toko milik orang-orang Tiong Hoa.
- Bandung, 14 Januari 1996. Massa mengamuk seusai pertunjukan musik Iwan Fals. Mereka melempari toko-toko milik orang-orang Tiong Hoa. Pemicunya, mereka kecewa tak bisa masuk pertunjukan karena tak punya karcis.
- Rengasdengklok, 30 Januari 1997. Mula-mula ada seorang suku peranakan Tiong Hoa yang merasa terganggu suara beduk Subuh. Percekcokan terjadi. Masyarakat mengamuk, menghancurkan rumah dan toko TiongHoa.
- Ujungpandang, 15 September 1997. Benny Karre, seorang keturunan Tiong Hoa dan pengidap penyakit jiwa, membacok seorang anak pribumi, kerusuhan meledak, toko-toko TiongHoa dibakar dan dihancurkan.
- Februari 1998. Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores, Jatiwangi, Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantauprapat, Aeknabara: Januari – Anti Tionghua.
- Kerusuhan Mei 1998. Salah satu contoh kerusuhan rasial yang paling dikenang masyarakat Tionghoa Indonesia yaitu Kerusuhan Mei 1998. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Solo. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang terbunuh, terluka, mengalami pelecehan seksual, penderitaan fisik dan batin serta banyak warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut. Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian orang-orang tersebut.
- 5-8 Mei 1998. Medan, Belawan, Pulobrayan, Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu, Galang, Pagarmerbau, Beringin, Batangkuis, Percut Sei Tuan: Ketidakpuasan politik yang berkembang jadi anti Tionghoa.
- Jakarta, 13-14 Mei 1998. Kemarahan massa akibat penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh kelompok politik tertentu jadi kerusuhan anti-Tionghoa. Peristiwa ini merupakan persitiwa anti-Tionghoa paling besar sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sejumlah perempuan keturunan Tionghoa diperkosa.
- Solo, 14 Mei 1998. Ketidakpuasan politik yang kemudian digerakkan oleh kelompok politik tertentu menjadi kerusuhan anti Tionghua.
sumber:
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus