Laman

Senin, 10 Oktober 2016

Kyai Lurah Semar Badranaya



 

Kyai Lurah Semar Badranaya atau biasa disebut Semar merupakan nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Panakawan adalah karakter yang khas dalam wayang Indonesia. Karakternya mempunyai bermacam-macam peran, seperti penasihat para ksatria, penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Tokoh Semar mempunyai peran sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana. Semar memiliki beberapa nama lain, yaitu Saronsari, Ki lurah Badranaya, Puntaprasanta, Bojagati, Wong Boga Sampir dan Ismaya. Ia memiliki watak yang sabar, jujur, ramah dan suka humor.

Tokoh karaker Semar memiliki bentuk yang unik, tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya, matanya yang menyipit juga melambangkan ketelitian dan keseriusan dalam menciptakan, ia berkulit hitam, berwajah putih, memiliki rambut (kuncung) seperti anak kecil sebagai simbol tua dan muda, jari tangannya mengepal kecuali telunjuknya yang seolah menuding yang melambangkan KARSA/keinginan yang kuat untuk menciptakan sesuatu. Semar memakai kain berwarna hitam dan putih di pinggangnya. Jika ia berjalan setiap tiga langkah ia menengok ke kanan dan ke kiri lalu menengok ke belakang. Semar merupakan penjelmaan dewa tetapi ia hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit yang berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.

Dalam cerita tersebut Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, ia juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.

Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Semar mempunyai beberapa versi asal usul kelahiran, namun semuanya menyebut tokoh Semar sebagai penjelmaan dewa. 

Di dalam naskah Serat Kanda diceritakan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal berwajah jelek, takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Di dalam naskah Paramayoga diceritakan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal lalu menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting yang bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Di dalam naskah Purwakanda diceritakan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Di dalam naskah Purwacarita diceritakan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Karakter Semar memang mempunyai keunikannya sendiri dan mempunyai nilai nilai yang bermakna dalam kehidupan. Begitu juga semua karakter wayang yang ada di Indonesia mempunyai keunikannya masing-masing.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar