(sumber gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Semar)
Kyai Lurah Semar Badranaya atau biasa disebut Semar merupakan nama tokoh
panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Panakawan adalah
karakter yang khas dalam wayang Indonesia. Karakternya mempunyai bermacam-macam
peran, seperti penasihat para ksatria, penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber
kebenaran dan kebijakan. Tokoh Semar mempunyai peran sebagai pengasuh sekaligus
penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana.
Semar memiliki beberapa nama lain, yaitu Saronsari, Ki lurah Badranaya,
Puntaprasanta, Bojagati, Wong Boga Sampir dan Ismaya. Ia memiliki watak yang
sabar, jujur, ramah dan suka humor.
Tokoh karaker Semar memiliki bentuk yang unik, tubuhnya yang bulat
merupakan simbol dari bumi tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya,
matanya yang menyipit juga melambangkan ketelitian dan keseriusan dalam
menciptakan, ia berkulit hitam, berwajah putih, memiliki rambut (kuncung)
seperti anak kecil sebagai simbol tua dan muda, jari tangannya mengepal kecuali
telunjuknya yang seolah menuding yang melambangkan KARSA/keinginan yang kuat
untuk menciptakan sesuatu. Semar memakai kain berwarna hitam dan putih di
pinggangnya. Jika ia berjalan setiap tiga langkah ia menengok ke kanan dan ke
kiri lalu menengok ke belakang. Semar merupakan penjelmaan dewa tetapi ia hidup
sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.
Menurut sejarawan Prof.
Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya
sastra zaman Kerajaan Majapahit yang berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga
dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh
yang berangka tahun 1439.
Dalam cerita tersebut Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama,
yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Peran Semar tidak
hanya sebagai pengikut saja, ia juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan
suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan
dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan
masih seputar Mahabharata yang saat itu
sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya,
misalnya Sunan
Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan
keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para
pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar
rakyat jelata biasa, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.
Semar mempunyai beberapa versi asal usul kelahiran, namun semuanya menyebut
tokoh Semar sebagai penjelmaan dewa.
Di dalam naskah Serat Kanda diceritakan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang
putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal
berwajah jelek, takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari
Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal
kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama
Semar.
Di dalam naskah Paramayoga diceritakan, Sanghyang Tunggal
adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal lalu menikah dengan Dewi
Rakti, seorang putri raja jin kepiting yang bernama Sanghyang Yuyut. Dari
perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah
menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang
berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah
diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun
diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu
Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau
tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara
Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau
disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke
anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga
Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun.
Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Di dalam naskah Purwakanda diceritakan, Sanghyang Tunggal
memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan,
dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan
diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun
diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh
ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi
buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar.
Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian
bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan
mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian
bergelar Batara Narada dan diangkat
sebagai penasihat Batara Guru.
Di dalam naskah Purwacarita diceritakan, Sanghyang Tunggal
menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu
lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal
membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih,
dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang
berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi
nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada
suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi
pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung.
Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru
mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan
cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah
melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh
Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun
bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua
putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang
kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan
Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
Karakter Semar memang mempunyai keunikannya sendiri dan mempunyai nilai
nilai yang bermakna dalam kehidupan. Begitu juga semua karakter wayang yang ada
di Indonesia mempunyai keunikannya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar